Daniel berketetapan untuk tidak menajiskan dirinya dengan santapan raja dan dengan anggur yang biasa diminum raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tak usah menajiskan dirinya. (Daniel 1:8)
Anda mungkin pernah mendengar kasus tentang anak muda yang diculik, kemudian dipaksa mengikuti organisasi tertentu dengan cara mencuci otaknya. Dengan itu, ia akan melupakan keluarganya dan berubah pikiran. Ia akan menganggap pola pikir organisasi itulah yang paling benar meskipun hal itu berlawanan dengan keyakinannya sebelumnya.
Demikian juga Raja Babel, Nebukadnezar, berusaha mencuci otak Daniel dan rekan-rekannya agar mereka memiliki pola pikir bangsa Kasdim. Awalnya dengan mengajarkan bahasa, tulisan, dan budaya Kasdim. Kemudian dengan mengubah identitas mereka. Nama-nama Yahudi mereka diganti dengan nama-nama Kasdim. Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya berubah menjadi Beltsazar, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Hal terakhir adalah dengan mengubah gaya hidup mereka, dengan diberi santapan dan minuman raja. Daniel dan rekan-rekannya menyetujui nama baru mereka. Belajar bahasa, tulisan, dan budaya juga tidak masalah. Namun ketika harus mengubah gaya hidup, mereka menolak! Makan dan minum sisa persembahan kepada berhala bertentangan dengan iman mereka. Daniel menolak untuk melanggar perintah Tuhan. Ia lebih taat kepada Tuhan daripada kepada manusia.
Keteguhan hati seperti yang dimiliki Daniel dan ketiga rekannya menjadi teladan sekaligus teguran bagi kita. Kapan terakhir kita mengompromikan iman kita—entah karena harta, jabatan, atau cinta? Marilah belajar dari Daniel. Saat menjadi minoritas pun, mereka berani menentukan sikap hidup dan menyatakan kebenaran–ENO
HIDUP KEKAL TERLALU BERHARGA JIKA DITUKAR DENGAN SESUATU YANG FANA
Posted via DraftCraft app
Tidak ada komentar:
Posting Komentar